Sebuah penyesalan yang tak akan ada akhirnya lebih
luas dari sungai yang bermuara di benua. Lebih panjang dari jalan yang
menghubungkan tempat di seluruh dunia. Hingga kelopak mata begitu keras mengering
air mataku telah habis.
Rasa yang begitu menghunjam,
kebimbangan yang berbuah kesesatan. Malam minggu, bagiku adalah sebuah malam
kutukan, aku benci, dan seumur hidupku aku benci malam minggu. Aku tak ingin
mengingatnya, tapi kehadiranya, kepolosanya dan keluguan dia terus memaksaku
untuk aku mengingatnya, aku ingin membunuhnya tapi ia tak berdosa dia tidak tau
apa- apa, dan kini hanya dia yang aku punya. Hanya dia yang bisa mengingatkan
aku, aku pernah mempunyai cinta. Aku pernah mempunyai masa depan. Aku pernah
mempunyai jalan.
Meskipun semuanya telah hilang, aku
tak tau mana yang mimpi, mana kenyataan tapi inilah yang aku hadapi. Semua bagaikan
mimpi. Mimpi yang tak akan ada akhirnya.
Seandainya aku dulu mendengarkan
kata- kata ibu, malam itu tak akan pernah hadir dalam hidupku dan tiada malam
kutukan, semua akan menjadi malam yang indah.
Malam itu saat lampu- lampu gemerlapan di jalan- jalan aku bimbang sendirian. Seperti malam sebelumnya suasana Jakarta begitu ramai, justru dijadikan waktu yang dinantikan oleh mayoritas orang yang tak punya waktu senggang di siang hari.
Akupun berjalan menikmati malam
bersama teman- teman satu kamarku.
“ Kiki, enak kan di luar, nggak
bored gak bĂȘte daripada di kamar terus, uhhhh!!! Sumpekk bo’ nggak banget” celetuk
Diska .
“ iya “ jawabku singkat.
“ bentar lagi Anton ke sini ama
temenya, please yah, kamu mau kan nemenin temen Anton?”
“ gimana ya dis? “ jawabku bingung.
“ Please Ki, dia bernama Angga, dia
baek ko, tajir pula!”
“ Dis, kamu tau kan ? aku udah punya
mas Aji, aku udah tunangan sama dia, masa aku di sini jalan sama yang lain?”
“ Aduh Kiki, please deh just for
this night! Hanya jalan, jalan ki, gak lebih sayang, ok?”.
“ hmmmm”.
Diska
menatapku menganggukan kepala meyakinkan aku untuk ikut. Akhirnya aku pun
menganggukan tanda setuju. Meskipun aku ragu, benar atau tidak keputusanku
mengiyakan ajakan Diska, di benakku selalu terbayang mas Aji, seorang yang
begitu sempurna di hadapanku, seorang imam yang baik, dia yang menunjukan aku
hidup, bahkan dia yang telah menunjukiku jalan, dia yang mengenalkan aku jalan
kehidupan yang begitu indah, yaitu Islam. Bertahun – tahun dia dengan sabar
menungguku untuk sampai pada saat dia mengungkapkan perasaanya lalu meminangku,
meski aku jauh dari kata pantas untuknya. Dan itu semua benar- benar
kebahagiaan yang luar biasa bagiku, karena sudah dari awal aku mengaguminya.
Dia
selalu hadir saat aku butuh, membimbingku seperti kakak kepada adeknya, dia selalu sabar, dia menjagaku dan menghormatiku,
dia begitu alim dan santun, meski dia tau aku seorang mualaf. Dan dia menyimpan
cinta yang begitu dalam terhadapku. Ya setelah 10 tahun kita saling mengenal
sebagai tetangga dekat, dan saling memendam perasaan, genap 1 bulan lalu dia
mengatakan perasaanya, tepatnya setelah aku wisuda, menyelesaikan sarat- saratq
untuk menjadi seorang bidan. Tanpa pikir panjang aku langsung mengiyakan,
karena dia jualah lelaki yang selalu memenuhi benakku selama bertahun- tahun,
meski aku hanya memendamnya, sehingga saat kedua orang tua mengetahui hal ini
mereka menginginkan kami segera menikah, kami pun menyetujuinya, karena memang
tidak ada alasan untuk menolak.
“
Thet “ bunyi klakson mobil teman Diska 5 menit kemudian. Lalu si pengemudi pun
langsung keluar menyapa kami.
Malam
itu aku dikenalkan dengan teman Anton yang bernama Angga. Jadi malam itu aku
ikut jalan menemani Angga.
“
Jaga Kiki ya nggak, awas kamu berani macem- macem!” ancem Diska pada Angga.
Seperti
kisah yang ada dalam sinetron- sinetron, Jakarta selalu ramai, ini malam ke-3
aku melanggar kata- kata ibu untuk tidak keluar malam. Malam ini Diska
mengajakku ke sebuah tempat hiburan malam. “ Ah, aku tidak tau, tempat apa ini?
Bising, brisik ramai. Baru sekali ini aku datang ketempat seperti ini,” batinku
Astaghfirulloh” apa ini yan dinamakan
Bar. Aku benar- benar takut.
Di
sini aku mendapati banyak gadis metropolitan dengan pakaian ketatnya, aku yang
berpakaian seperti ini saja selalu diingatkan mas Aji, dia menginginkan aku
memakai jilbab, tapi aku mengiyakan setelah menikah.
Di
sini aku jua mendapati remaja- remaja pria bergerombol yang sangat membuatku
tidak nyaman. Saat Angga meraih tanganku mengajakku untuk duduk, aku
diperhatikan oleh seseorang, matanya tajam sekali, aku merasa ia memperhatikan
aku sejak aku berjalan hingga aku duduk. Lama, ia terus memandangiku, sesekali
Angga mengajakku ngobrol, tapi dia juga sering terdiam, di sela- sela waktu aku
melihat ke arah lelaki itu, ternyata dia masih tetap memperhatikan aku. Seorang
laki- laki, separuh baya, dengan rambut cepak, dan matanya yang cekung tajam.
Aku semakin merasa tidak nyaman dibuatnya.
“
kamu sakit?” tanya Angga, mungkin aku terlalu tegang, sehingga wajahku pucat
dan dikira sakit.
“hee…enggak
kok!”. Jawabku nyengir, menenangkan kegelisahanku.
“
terus, dari tadi, ngliatin siapa? Ada yang kamu kenal?” tanya Angga.
Aku
tersenyum sopan.
“
Tidak, sebelumnya, aku tidak pernah ke sini”.
“
oh “. Jawab Angga menganggukan kepala, ia pun terdiam sejenak. “ o ya, kamu
bilang tadi, sebelumnya tidak pernah kesini?”
“
iya sebelumnya aku belum pernah kesini”.
“
Masa sih?” tanya dia meyakinkan, aku mengangguk.
“iya,
aku baru genap bekerja 1 bulan minggu
besok di sini!”
“
oh, satu bulan? Kenal Diska udah lama?”
“
Belum, aku kenal Diska di sini, kebetulan kita satu rumah dan kita bekerja di
rumah sakit yang sama, aku ke sini bareng sama temenku, tapi dia kuliah”.
“
Kuliah dimana? Terus kamu sendiri? Kuliah?”
“
S1 Keperawatan Ners di UI, aku sendiri aku hanya lulusan D3 dari akademi
kebidanan di kota kecil, kampusku kecil, nggak terkenal, swasta juga!”
“
Its ok, no matter for me, you are beautiful girl, and for me you are charming”.
Aku
diam, tiba- tiba aku bersin.
“
Tu kan ? kamu bersin, kamu sakit kan ? kenapa kamu diam aja? Kenapa kamu nggak
bilang ?” tanya Angga panic, aku hanya menunduk dan senyum. Dia pun mengajakku
pulang.
“
Ayo kita pulang aja, pake mobilku, aku antar ya!”
“
Diska sama Anton gimana? Mereka dimana?”
“
He…..” Angga hanya menjawab pertanyaanku dengan senyum yang aneh. Aku ingin
bertanya lagi, tapi kelihatanya dia tidak mau memberikan jawaban, dia bergegas
mengajakku keluar, mungkin aku tau jawabanya, Diska menginap di apartemen
Anton, Diska sering cerita kalau dia pulang malem karena sift sore dia pulang
ke apartemen Anton. Kami pun menuju ke kos- kosan kami.
“
Kamu kan orang kesehatan, sakit ko kamu diem aja”. Koment Angga di perjalanan.
Akupun
hanya tersenyum menunduk diem.
Tidak
lama kemudian, pintu kos- kosan sudah di depan mataku, gagang pintu melambai,
enyambutku untuk segera masuk, dan merebahkan tubuhku di atas tempat tidurku.
Aku pun tidak sabar untuk melakukan itu, aku langsung membuka pintu keluar.
“
kamu tidak mengajakku untuk mampir sebentar?” tanya Angga.
Aku
pun diam, bingung jawab apa.
“
ko diam?” tanya Angga
“kepalaku
pusing, aku mau langsung istirahat tidur, terima kasih sudah mengantarku “.
Jawabku gugup.
“
it’s Ok kalo itu mau kamu, oya malaem minggu besok, mau nggak nemenin gue
makan?”
“
hemmm “ aku tersenyum, “ maaf, aku sift sore, pulang malam jadi sepertinya
tidak bisa”
“
Aku jemput, kamu selesai sift jam berapa?”
“
Maaf juga, kalau malam, aku pulang sama temenku, dia perawat bangsal kasian dia
sendiri”. Jawabku bohong, padahal tiap hari, sift apapun, aku selalu pulang
sendiri naik taksi. Demi mas Aji, demi dia, aku tidak akan membiarkan semua
kekhawatiran ibu menjadi kenyataan. Pikirku saat itu, aku pun langsung masuk ke
kamar, membersihkan diri dan langsung merebahkan tubuhku.
Sudah
3 hari mas Aji tidak menelfonku, kangen sekali, mungkin dia sedang sibuk dengan
tugasnya, sebagai dokter muda dia begitu sibuk, apalagi dia sedang melanjutkan
study spesialis kandungan. Hmm… aku tidak akan mengganggunya, yah, aku tidur
saja, aku pun menarik selimutku.
“
dreeetttttt”….. belum aku memejamkan mata, hpku bergetar, sesuatu yang sangat
membahagiakan aku. Sesuatu yang aku nantikan tiba, ikatan batin aku dan mas Aji
memang begitu kuat, ternyata dia tau aku sangat merindukan dia, meskipun kita
baru saja jadian, tapi sudah 10 tahun kita menjadi sahabat, seperti kakak adek
dan bertetangga dekat.
“
Assalamu’alaikum adin?” sapa mas Aji yang sering manggil aku Adinda, panggilan
yang begitu klasik, tapi terkadang juga sering memanggilku adek.
“
wa’alaikumsalam wr wb”.
“
kok dindaku jawabnya lemes gitu?”
“
iya, abis, kandanya jahat, 3 hari nggak telf?”
“
oh gitu? Maafin mas ya, soalnya kemarin banyak operasi, mas bantu dokter Wisnu,
capek banget. Terus tugas kuliah banyak, ne baru pulang, ne sempetin telp
dedeknya mas. Tapi Alhamdulillah din, bisa menambah pengalaman en tabungan buat
kita.”
“
Hummm, gitu ya, kanda kangen sama dinda ndak?”
“
Dinda, dinda, ya jelas kangenlah, tiap hari bapak sama ibu juga nanyain, Kiki
ndak pulang po? Ko ndak pulang- pulang? Gitu. Dinda disuruh pulang, kanda
jemput ya, besok pagi! Biar malem minggu Dinda bisa di rumah”.
“
Yah, malam minggu dinda sift kanda, malah sepertinya lembur, ada catatan yang
harus diselesaikan. Minggu depan aja ya”.
“
Dinda sayang, dinda itu udah 1 bulan lho di Jakarta nggak pulang, jadi anak
bawel, bawel banget, kanda nggak bisa lama- lama pisah dari bidadari secantik
kamu, ngerti?”
“
iyah, dinda juga pingin pulang, tapi gimana? “
“gimana
apanya? Dinda kan bisa ijin”.
“
Ya nggak boleh “
“
Tuh kan? Ya udah Dinda keluar aja, ngapain sih kerja segala, Bundamu juga udah
bilangkan, dinda di rumah aja! Blagu sih kerja- kerja segala, masa’ Cuma ijin
nggak boleh, 1 hari. Hari minggu thok! Bidan kan banyak, perawat juga, gimana
sih? Kalo emang nggak boleh udah din…” omongan mas Aji waktu itu aku potong.
“
Stop mas! Please deh!”
“
lhoh kok jadi berani bentak kanda gitu? Coba ulangi lagi!”
“
ya abisan sih, kanda nggak ngertiin Dinda, Dinda kan dah sering bilang, kasih
dong kesempatan dinda yar bisa memanfaatkan ilmu dinda, 1 tahun aja sebelum
kita menikah “.
“
Apa ? satu tahun? Dinda? Kita nikah sebentar lagi, orang tua kita sudah sibuk
mempersiapkan pernikahan kita, kita nikah nggak ada satu tahun lagi. Dinda mau
ngundur lagi? Kok gitu? Kanda jadi curiga deh!”
“
lhoh kok malah jadi gitu?enggak tadi dinda lupa, dinda lupa kalo kita nikah 1
bulan lagi, dinda...” omonganku saat itu terpotong.
“
Apa ? Lupa ? Dinda bener- bener ya, keterlaluan. Kanda nggak ngerti ada apa
dengan dinda, kanda nggak mau tau. Besok kanda ke Jakarta. Dinda pulang ke
Jogja. Titik !”
“
tap…..” thut…. Thuttt…..” rupanya mas Aji mematikan ponselnya. Itu kalimat
terakhir yang aku dengar dari mulutnya. Sebelum telf dimatikan.
Aku
terus mencoba menelfon, tapi tidak diangkat, justru dimatikan. Aku pun mencoba
sms mas Aji untuk minta maaf. Aku terus mencoba menjelaskan, kalau aku salah,
aku hanya ingin merasakan kerja lebih lama. Aku terus memohon agar aku masih
diijinkan kerja 1 bulan lagi sampai kita menikah, dan aku pulang minggu depan.
Tapi
tidak juga dibalas padahal aku sms 5 kali lebih. Hah hingga aku terlelap dalam tidur
pun hapku kosong. Aku terlelap sekitar jam 2 malam, tanpa ada respon dari mas
Aji. Saat bangun pun tidak ada tanda- tanda mas Aji menghubungiku, aku gundah
sekali, aku takut sekali. Aku pun mencoba menghubungi tapi ponselnya tidak
aktif. Ada pesan masuk justru dari mas Angga. Membosankan.
Tidak
pernah mas Aji semarah ini, bahkan saat hubungan kami masih sebagai sahabat,
dia tidak pernah menunjukan raut semarah ini. Tapi sepertinya aku memang yang
keterlaluan. Aku berani membentaknya, aku sampai lupa kalau pernikahan kami
hanya tinggal menunggu waktu.
Aku
sangat bingung apakah hari itu aku akan berangkat kerja atau tidak. Mas Aji
tidak pernah seperti ini, biasanya kalau marah, tanpa aku minta maaf, 3 jam
setelahnya dia yang telf dan bilang kalau dia tidak tahan marahan.
Kepergianku
memang tanpa restu ibu, dan keluargaku. Ibuku melarang keras aku untuk kerja
jauh- jauh dari orang tua. Bahkan pingin ibuku aku nggak usah kerja sampai aku
menikah, seandainya aku kerja di tempat yang dekat atau satu tempat dengan mas
Aji, apalgi mas aji yang sudah punya rumah sakit sendiri. Nerusin ibunya.
Mas
Ajilah yang merayu ibu untuk mengijinkan aku kerja di Jakarta, karena aku yang
memohon, aku hanya ingin merasakan seperti temen- temen yang lain. Menghabiskan
masa lajangnya dengan pengalaman yang indah. Itulah alasanya aku memohon kerja
di rumah sakit di Jakarta saat ada penjaringan lowongan kerja di kampusku dulu.
Ya
kurang lebih 2 bulan lagi kita menikah. Aku akan melepas masa lajangku, aku
akan menjadi seorang istri dari mas Aji, yang setiap hari aku harus selalu siap
mleyaninya, membukakan pintu pulang dengan senyum terindahku, melepas sepatu
kerjanya, menyiapkan air hangat dan juga makanan untuknya. Aku tidak perlu
kerja lagi, itulah yang diinginkan mas Aji. Aku menjadi ibu rumah tangga yang
bahagia, kalaupun bekerja aku bekerja di rumah sakit sendiri.
Hari
itu aku benar- benar bingung mau kerja, atau tidak. Sebenarnya tujuan dan cita-
citaku sudah tercapai, merasakan rasanya jauh dari orang tua, ngrasain kerja
dan hidup sendiri. Mungkin aku memang harus pulang, hari itu hari sabtu, iyu
berarti aku harus menyiapkan surat pengunduran diri juga, karena mas Aji bilang
besok pagi atau nanti malam mau jemput.
Aku
bingung sekali, aku terus mencoba menghubungi mas Aji tapi belum ada balasan.
Aku pun membulatkan tekad. Bahwa tugas siftq nanti malam adalah siftku yang
terakhir. Aku pun mengetik surat pengunduran diri dan semua tugas aku bereskan
siang itu juga. Sampai kira- kira pukul 1.56 menit saat aku sudah sampai di
depan pintu rumah sakit untuk sift sore, ponselku bergetar. Aku deg- degan
sekali saat membukanya. Lalu kubaca sebaris kalimat dari mas Aji, “ mas, nggak marah dhedehek sayang, mas nggak
bisa marah sama adek. mas maafkan dhedhe, mas ijinkan dhedhe tetep kerja 1
bulan lagi. Nikmati masa gadis dhedhe seindah yang dhedhe mau, tapi besok kalo
jadi ibu harus nurut. Tapi dhedhe pulang ya, mas kangen. Mas sayang dhedhe,
love you….”.
Aku
bener- bener lega sekali rasanya. Sore itupun aku bekerja dengan semangat surat
pengunduran diri pun langsung aku sobek. Hatiku penuh dengan mas Aji, dia
adalah calon suamiku, suamiku tercinta, orang yang begitu pengertian, ya dia
sangat mengerti aku.

Saat
aku melewati loby rumah sakit, aku berpapasan dengan orang malam itu! ya orang
yang selalu menatapku di bar. Dan dia masih menatapku dengan tatapan yang sama.
Ah mungkin dia sedang menunggui istrinya di rumah sakit ini, dan dia punya
masalah makanya dia menatap seperti itu, aku pun berlalu.
“
suster “ lelaki baya itu memanggilku. Aku pun berhanti karena saat itu yang
berpakaian putih- putih di ruangan itu hanya aku.
“
iya bapak, ada yang bisa saya bantu?” jawabku sopan.
“
boleh kenalan suster cantik” jawab lelaki itu menatap leherku. Aku benar- benar
kaget dan terhenyak sesak sekali di dada rasanya aku membalas sapaan pria ini.
Aku pun cepat – cepat pergi.
“
heyy…. Suster berambut panjang, kamu mau kemana? Tubuhmu seksi sekali “. Teriak
orang itu. Aku benar- benar tidak menyangka akan bertemu orang seperti dia,
benar- benar gila. Stress.
Hah.
Akhirnya sampai juga aku di ruang kerjaku. Akupun melaksanakan tugasku dengan
baik, dan aku tekatkan untuk ijin. Ya. Aku harus ijin pulang. Sebelum mas Aji
benar- benar marah sama aku, aku harus pulang. Tapi bagaimana aku harus ijin,
rasanya malas sekali bertemu dengan dokter Dion, dia tidak kalah centil,
sepertinya dia juga suka sama aku, dia sering menawariku pulang bareng, makan
juga, meski selalu aku tolak. Tapi demi mas Aji akan aku temui dokter Dion.
“
thok …thok….” Aku ketuk pintu dokter Dion.
“
masuk “
“
malam dok, “ sapa ku
“
Eh, bidan Kiki, mari masuk, ayoh sini duduk dulu, belum mau pulang kan? Saya
juga baru mau siap- siap pulang.”
“
hemmmm” jawabku tersenyum.
“
duduk2 dulu sinih. Mau pulang bareng? Saya antar. “
“
he… makasih dok, saya, mau ijin dok, “
“
hah? Ijin? Ijin apa?”
“
besok saya tidak bisa mengasisteni dokter, saya mau pulang ke Jogja. “
“
nggak bisa semudah itu”.
“
ibu saya sakit, saya mohon, sekali ini saja, nanti saya tukeran sama Diska”.
“hmmmmm…..”
“
dok, please dok, tolong.” aku memohon pada dokter Dion, tapi dia justru
menatapku seprti itu, menjengkelkan sekali. Mentang – mentang aku baru lulus
apa? Belum tau dia kalau tunanganku juga dokter kandungan, lebih tampan dan
sopan. Pikirku saat itu.
“
ok. Jangan lama-lama ya” jawab dokter Dion. Hah aku, benar- benar lega sekali.
“
terima kasih dok ,saya ijin sampai senin”
“
udah mau pulang? “ tanya dokter Dion, aku mengangguk, “ sama siapa?”
“
sendiri dok!”
“
saya Antar ya”
“
he, makasih dok, dekat ini, saya pamitan. , terimakasih selamat malam. “
Hah
males banget pulang sama dokter Dion pikirku malam itu, lebih baik, aku sendiri
jalan kaki, hummm aku akan selalu menjaga cintaku untuk mas Aji. Sudah
terbayang di benakku malam itu, raut mas Aji, suami yang begitu sayang
terhadapku. Dia begitu pengertian terhadapku, dia masih menigijinkan aku dan
memberi aku kesempatan bebas merasakan kerja. Saat itu aku merasa kehidupanku
sangat indah, indah sekali.
Dan
yang tak pernah layak untuk aku tuliskan, sebuah kisah yang tak akan pernah
pantas dirasakan oleh siapapun, saat aku sampai di halaman rumah sakit, hujan
turun dengan derasnya. Aku menolak untuk diantar dokter Dion, aku pun berteduh
di warung makan yang kebetulan sudah tutup di dekat pintu belakang rumah sakit,
karena hujan deras malam itu pun sepi, dan malam itu sudah pukul 9 lebih, saat
aku hendak bangkit, Tangan2 iblis itu pun meraih tanganku, dan membiusku.
Menit-
menit berikutnya adalah menit kutukan untukku. Dan selanjutnya sampai detik
ini, menit- menitku dipenuhi dengan duri- duri yang selalu menyayatku, semua
yang aku miliki terampas dalam satu malam. Aku babak belur, semua yang aku
punya pergi. Hanya dengan kasih Tuhan yang masih enggan meninggalkan nyawa di
badanku yang tak layak ini, untuk tetap bernafas dan hidup sampai sekarang.
Hingga
aku mempunyai seorang anak. Seorang anak yang tak pernah aku kenal siapa
ayahnya. Seorang anak yang tak pernah aku harapkan untuk selamanya. Seorang
anak yang telah melenyapkan segalanya yang aku punya. Seorang anak yang selalu
menghadirkan kebencian saat aku menatapnya. Tapi dia tidak berdosa.
Dan
sampai sekarang aku tidak pernah tau siapa ayah dari anakku, dan aku tidak akan
pernah ingin tahu. Aku sangat benci. Aku diperkosa oleh 5 orang, yang semuanya
aku tidak tau, semua hanya samar, seperti pria stress malam itu, tapi samar
juga ada yang menyebut nama Angga, orang itu puas karena dendamnya terhadap
Angga terlaksana. Aku sungguh tidak tahu itu mimpi atau nyata. Aku tidak tahu.
Aku bangun aku sadar. Aku terbaring di rumah sakit. Dengan berbagai alat bantu
di tubuhku.
Pertama
aku melihat air mata ibuku menetes di tanganku. Ibuku duduk di sampingku,
dengan cucuran air matanya,
Aku
juga tidak mengerti kenapa ibu sampai di Jakarta, seorang Anti teman SMAq yang
kuliah di UI menungguku di luar mengintip lewat jendela. Setelahaku sadar kata
ibu, Antilah yang menemukan aku di selokan dekat rumah sakit, karena hendak
berkunjung. Tubuhku terbukur tak berdaya penuh luka, seragam putih- putihku
berlumuran darah. Aku pingsan hingga 3 hari ini aku baru sadar. Katanya dari
hasil otopsi iblis- iblis itu telah menusukan pisau ditubuhku tapi untungnya
aku masih hidup.
Dan
mas Aji, aku hanya bisa memohon maaf. Dia yang begitu berharga untukku, saat
dia tau keadaanku dia langsung ke sini, tapi naas menjemputnya ,mas Aji
kecelakaan. Ayahku juga meninggal.

Tidak ada komentar:
Posting Komentar