bismillah

bismillah,,,,,,,semoga kebahagiaan dan kedamaian menyertaimu

Selasa, 05 Juni 2012

minggu


Sebuah  penyesalan yang tak akan ada akhirnya lebih luas dari sungai yang bermuara di benua. Lebih panjang dari jalan yang menghubungkan tempat di seluruh dunia. Hingga kelopak mata begitu keras mengering air mataku telah habis.
            Rasa yang begitu menghunjam, kebimbangan yang berbuah kesesatan. Malam minggu, bagiku adalah sebuah malam kutukan, aku benci, dan seumur hidupku aku benci malam minggu. Aku tak ingin mengingatnya, tapi kehadiranya, kepolosanya dan keluguan dia terus memaksaku untuk aku mengingatnya, aku ingin membunuhnya tapi ia tak berdosa dia tidak tau apa- apa, dan kini hanya dia yang aku punya. Hanya dia yang bisa mengingatkan aku, aku pernah mempunyai cinta. Aku pernah mempunyai masa depan. Aku pernah mempunyai jalan.
            Meskipun semuanya telah hilang, aku tak tau mana yang mimpi, mana kenyataan tapi inilah yang aku hadapi. Semua bagaikan mimpi. Mimpi yang tak akan ada akhirnya.
            Seandainya aku dulu mendengarkan kata- kata ibu, malam itu tak akan pernah hadir dalam hidupku dan tiada malam kutukan, semua akan menjadi malam yang indah. 

           
 Malam itu saat lampu- lampu gemerlapan di jalan- jalan aku bimbang sendirian. Seperti malam sebelumnya suasana Jakarta begitu ramai, justru dijadikan waktu yang dinantikan oleh mayoritas orang yang tak punya waktu senggang di siang hari.
            Akupun berjalan menikmati malam bersama teman- teman satu kamarku.
            “ Kiki, enak kan di luar, nggak bored gak bĂȘte daripada di kamar terus, uhhhh!!! Sumpekk bo’ nggak banget” celetuk Diska .
            “ iya “ jawabku singkat.
            “ bentar lagi Anton ke sini ama temenya, please yah, kamu mau kan nemenin temen Anton?”
            “ gimana ya dis? “ jawabku bingung.
            “ Please Ki, dia bernama Angga, dia baek ko, tajir pula!”
            “ Dis, kamu tau kan ? aku udah punya mas Aji, aku udah tunangan sama dia, masa aku di sini jalan sama yang lain?”
            “ Aduh Kiki, please deh just for this night! Hanya jalan, jalan ki, gak lebih sayang, ok?”.
            “  hmmmm”.                   
Diska menatapku menganggukan kepala meyakinkan aku untuk ikut. Akhirnya aku pun menganggukan tanda setuju. Meskipun aku ragu, benar atau tidak keputusanku mengiyakan ajakan Diska, di benakku selalu terbayang mas Aji, seorang yang begitu sempurna di hadapanku, seorang imam yang baik, dia yang menunjukan aku hidup, bahkan dia yang telah menunjukiku jalan, dia yang mengenalkan aku jalan kehidupan yang begitu indah, yaitu Islam. Bertahun – tahun dia dengan sabar menungguku untuk sampai pada saat dia mengungkapkan perasaanya lalu meminangku, meski aku jauh dari kata pantas untuknya. Dan itu semua benar- benar kebahagiaan yang luar biasa bagiku, karena sudah dari awal aku mengaguminya.
Dia selalu hadir saat aku butuh, membimbingku seperti kakak kepada adeknya,  dia selalu sabar, dia menjagaku dan menghormatiku, dia begitu alim dan santun, meski dia tau aku seorang mualaf. Dan dia menyimpan cinta yang begitu dalam terhadapku. Ya setelah 10 tahun kita saling mengenal sebagai tetangga dekat, dan saling memendam perasaan, genap 1 bulan lalu dia mengatakan perasaanya, tepatnya setelah aku wisuda, menyelesaikan sarat- saratq untuk menjadi seorang bidan. Tanpa pikir panjang aku langsung mengiyakan, karena dia jualah lelaki yang selalu memenuhi benakku selama bertahun- tahun, meski aku hanya memendamnya, sehingga saat kedua orang tua mengetahui hal ini mereka menginginkan kami segera menikah, kami pun menyetujuinya, karena memang tidak ada alasan untuk menolak.
“ Thet “ bunyi klakson mobil teman Diska 5 menit kemudian. Lalu si pengemudi pun langsung keluar menyapa kami.
Malam itu aku dikenalkan dengan teman Anton yang bernama Angga. Jadi malam itu aku ikut jalan menemani Angga.
“ Jaga Kiki ya nggak, awas kamu berani macem- macem!” ancem Diska pada Angga.
Seperti kisah yang ada dalam sinetron- sinetron, Jakarta selalu ramai, ini malam ke-3 aku melanggar kata- kata ibu untuk tidak keluar malam. Malam ini Diska mengajakku ke sebuah tempat hiburan malam. “ Ah, aku tidak tau, tempat apa ini? Bising, brisik ramai. Baru sekali ini aku datang ketempat seperti ini,” batinku  Astaghfirulloh” apa ini yan dinamakan Bar. Aku benar- benar takut.
Di sini aku mendapati banyak gadis metropolitan dengan pakaian ketatnya, aku yang berpakaian seperti ini saja selalu diingatkan mas Aji, dia menginginkan aku memakai jilbab, tapi aku mengiyakan setelah menikah.
Di sini aku jua mendapati remaja- remaja pria bergerombol yang sangat membuatku tidak nyaman. Saat Angga meraih tanganku mengajakku untuk duduk, aku diperhatikan oleh seseorang, matanya tajam sekali, aku merasa ia memperhatikan aku sejak aku berjalan hingga aku duduk. Lama, ia terus memandangiku, sesekali Angga mengajakku ngobrol, tapi dia juga sering terdiam, di sela- sela waktu aku melihat ke arah lelaki itu, ternyata dia masih tetap memperhatikan aku. Seorang laki- laki, separuh baya, dengan rambut cepak, dan matanya yang cekung tajam. Aku semakin merasa tidak nyaman dibuatnya.
“ kamu sakit?” tanya Angga, mungkin aku terlalu tegang, sehingga wajahku pucat dan dikira sakit.
“hee…enggak kok!”. Jawabku nyengir, menenangkan kegelisahanku.
“ terus, dari tadi, ngliatin siapa? Ada yang kamu kenal?” tanya Angga.
Aku tersenyum sopan.
“ Tidak, sebelumnya, aku tidak pernah ke sini”.
“ oh “. Jawab Angga menganggukan kepala, ia pun terdiam sejenak. “ o ya, kamu bilang tadi, sebelumnya tidak pernah kesini?”
“ iya sebelumnya aku belum pernah kesini”.
“ Masa sih?” tanya dia meyakinkan, aku mengangguk.
“iya, aku baru genap bekerja 1 bulan  minggu besok di sini!”
“ oh, satu bulan? Kenal Diska udah lama?”
“ Belum, aku kenal Diska di sini, kebetulan kita satu rumah dan kita bekerja di rumah sakit yang sama, aku ke sini bareng sama temenku, tapi dia kuliah”.
“ Kuliah dimana? Terus kamu sendiri? Kuliah?”
“ S1 Keperawatan Ners di UI, aku sendiri aku hanya lulusan D3 dari akademi kebidanan di kota kecil, kampusku kecil, nggak terkenal, swasta juga!”
“ Its ok, no matter for me, you are beautiful girl, and for me you are charming”.
Aku diam, tiba- tiba aku bersin.
“ Tu kan ? kamu bersin, kamu sakit kan ? kenapa kamu diam aja? Kenapa kamu nggak bilang ?” tanya Angga panic, aku hanya menunduk dan senyum. Dia pun mengajakku pulang.
“ Ayo kita pulang aja, pake mobilku, aku antar ya!”
“ Diska sama Anton gimana? Mereka dimana?”
“ He…..” Angga hanya menjawab pertanyaanku dengan senyum yang aneh. Aku ingin bertanya lagi, tapi kelihatanya dia tidak mau memberikan jawaban, dia bergegas mengajakku keluar, mungkin aku tau jawabanya, Diska menginap di apartemen Anton, Diska sering cerita kalau dia pulang malem karena sift sore dia pulang ke apartemen Anton. Kami pun menuju ke kos- kosan kami.
“ Kamu kan orang kesehatan, sakit ko kamu diem aja”. Koment Angga di perjalanan.
Akupun hanya tersenyum menunduk diem.
Tidak lama kemudian, pintu kos- kosan sudah di depan mataku, gagang pintu melambai, enyambutku untuk segera masuk, dan merebahkan tubuhku di atas tempat tidurku. Aku pun tidak sabar untuk melakukan itu, aku langsung membuka pintu keluar.
“ kamu tidak mengajakku untuk mampir sebentar?” tanya Angga.
Aku pun diam, bingung jawab apa.
“ ko diam?” tanya Angga
“kepalaku pusing, aku mau langsung istirahat tidur, terima kasih sudah mengantarku “. Jawabku gugup.
“ it’s Ok kalo itu mau kamu, oya malaem minggu besok, mau nggak nemenin gue makan?”
“ hemmm “ aku tersenyum, “ maaf, aku sift sore, pulang malam jadi sepertinya tidak bisa”
“ Aku jemput, kamu selesai sift jam berapa?”
“ Maaf juga, kalau malam, aku pulang sama temenku, dia perawat bangsal kasian dia sendiri”. Jawabku bohong, padahal tiap hari, sift apapun, aku selalu pulang sendiri naik taksi. Demi mas Aji, demi dia, aku tidak akan membiarkan semua kekhawatiran ibu menjadi kenyataan. Pikirku saat itu, aku pun langsung masuk ke kamar, membersihkan diri dan langsung merebahkan tubuhku.
Sudah 3 hari mas Aji tidak menelfonku, kangen sekali, mungkin dia sedang sibuk dengan tugasnya, sebagai dokter muda dia begitu sibuk, apalagi dia sedang melanjutkan study spesialis kandungan. Hmm… aku tidak akan mengganggunya, yah, aku tidur saja, aku pun menarik selimutku.
“ dreeetttttt”….. belum aku memejamkan mata, hpku bergetar, sesuatu yang sangat membahagiakan aku. Sesuatu yang aku nantikan tiba, ikatan batin aku dan mas Aji memang begitu kuat, ternyata dia tau aku sangat merindukan dia, meskipun kita baru saja jadian, tapi sudah 10 tahun kita menjadi sahabat, seperti kakak adek dan bertetangga dekat.
“ Assalamu’alaikum adin?” sapa mas Aji yang sering manggil aku Adinda, panggilan yang begitu klasik, tapi terkadang juga sering memanggilku adek.
“ wa’alaikumsalam wr wb”.
“ kok dindaku jawabnya lemes gitu?”
“ iya, abis, kandanya jahat, 3 hari nggak telf?”
“ oh gitu? Maafin mas ya, soalnya kemarin banyak operasi, mas bantu dokter Wisnu, capek banget. Terus tugas kuliah banyak, ne baru pulang, ne sempetin telp dedeknya mas. Tapi Alhamdulillah din, bisa menambah pengalaman en tabungan buat kita.”
“ Hummm, gitu ya, kanda kangen sama dinda ndak?”
“ Dinda, dinda, ya jelas kangenlah, tiap hari bapak sama ibu juga nanyain, Kiki ndak pulang po? Ko ndak pulang- pulang? Gitu. Dinda disuruh pulang, kanda jemput ya, besok pagi! Biar malem minggu Dinda bisa di rumah”.
“ Yah, malam minggu dinda sift kanda, malah sepertinya lembur, ada catatan yang harus diselesaikan. Minggu depan aja ya”.
“ Dinda sayang, dinda itu udah 1 bulan lho di Jakarta nggak pulang, jadi anak bawel, bawel banget, kanda nggak bisa lama- lama pisah dari bidadari secantik kamu, ngerti?”
“ iyah, dinda juga pingin pulang, tapi gimana? “
“gimana apanya? Dinda kan bisa ijin”.
“ Ya nggak boleh “
“ Tuh kan? Ya udah Dinda keluar aja, ngapain sih kerja segala, Bundamu juga udah bilangkan, dinda di rumah aja! Blagu sih kerja- kerja segala, masa’ Cuma ijin nggak boleh, 1 hari. Hari minggu thok! Bidan kan banyak, perawat juga, gimana sih? Kalo emang nggak boleh udah din…” omongan mas Aji waktu itu aku potong.
“ Stop mas! Please deh!”
“ lhoh kok jadi berani bentak kanda gitu? Coba ulangi lagi!”
“ ya abisan sih, kanda nggak ngertiin Dinda, Dinda kan dah sering bilang, kasih dong kesempatan dinda yar bisa memanfaatkan ilmu dinda, 1 tahun aja sebelum kita menikah “.
“ Apa ? satu tahun? Dinda? Kita nikah sebentar lagi, orang tua kita sudah sibuk mempersiapkan pernikahan kita, kita nikah nggak ada satu tahun lagi. Dinda mau ngundur lagi? Kok gitu? Kanda jadi curiga deh!”
“ lhoh kok malah jadi gitu?enggak tadi dinda lupa, dinda lupa kalo kita nikah 1 bulan lagi, dinda...” omonganku saat itu terpotong.
“ Apa ? Lupa ? Dinda bener- bener ya, keterlaluan. Kanda nggak ngerti ada apa dengan dinda, kanda nggak mau tau. Besok kanda ke Jakarta. Dinda pulang ke Jogja. Titik !”
“ tap…..” thut…. Thuttt…..” rupanya mas Aji mematikan ponselnya. Itu kalimat terakhir yang aku dengar dari mulutnya. Sebelum telf dimatikan.
Aku terus mencoba menelfon, tapi tidak diangkat, justru dimatikan. Aku pun mencoba sms mas Aji untuk minta maaf. Aku terus mencoba menjelaskan, kalau aku salah, aku hanya ingin merasakan kerja lebih lama. Aku terus memohon agar aku masih diijinkan kerja 1 bulan lagi sampai kita menikah, dan aku pulang minggu depan.
Tapi tidak juga dibalas padahal aku sms 5 kali lebih. Hah hingga aku terlelap dalam tidur pun hapku kosong. Aku terlelap sekitar jam 2 malam, tanpa ada respon dari mas Aji. Saat bangun pun tidak ada tanda- tanda mas Aji menghubungiku, aku gundah sekali, aku takut sekali. Aku pun mencoba menghubungi tapi ponselnya tidak aktif. Ada pesan masuk justru dari mas Angga. Membosankan.
Tidak pernah mas Aji semarah ini, bahkan saat hubungan kami masih sebagai sahabat, dia tidak pernah menunjukan raut semarah ini. Tapi sepertinya aku memang yang keterlaluan. Aku berani membentaknya, aku sampai lupa kalau pernikahan kami hanya tinggal menunggu waktu.
Aku sangat bingung apakah hari itu aku akan berangkat kerja atau tidak. Mas Aji tidak pernah seperti ini, biasanya kalau marah, tanpa aku minta maaf, 3 jam setelahnya dia yang telf dan bilang kalau dia tidak tahan marahan.
Kepergianku memang tanpa restu ibu, dan keluargaku. Ibuku melarang keras aku untuk kerja jauh- jauh dari orang tua. Bahkan pingin ibuku aku nggak usah kerja sampai aku menikah, seandainya aku kerja di tempat yang dekat atau satu tempat dengan mas Aji, apalgi mas aji yang sudah punya rumah sakit sendiri. Nerusin ibunya.
Mas Ajilah yang merayu ibu untuk mengijinkan aku kerja di Jakarta, karena aku yang memohon, aku hanya ingin merasakan seperti temen- temen yang lain. Menghabiskan masa lajangnya dengan pengalaman yang indah. Itulah alasanya aku memohon kerja di rumah sakit di Jakarta saat ada penjaringan lowongan kerja di kampusku dulu.
Ya kurang lebih 2 bulan lagi kita menikah. Aku akan melepas masa lajangku, aku akan menjadi seorang istri dari mas Aji, yang setiap hari aku harus selalu siap mleyaninya, membukakan pintu pulang dengan senyum terindahku, melepas sepatu kerjanya, menyiapkan air hangat dan juga makanan untuknya. Aku tidak perlu kerja lagi, itulah yang diinginkan mas Aji. Aku menjadi ibu rumah tangga yang bahagia, kalaupun bekerja aku bekerja di rumah sakit sendiri.
Hari itu aku benar- benar bingung mau kerja, atau tidak. Sebenarnya tujuan dan cita- citaku sudah tercapai, merasakan rasanya jauh dari orang tua, ngrasain kerja dan hidup sendiri. Mungkin aku memang harus pulang, hari itu hari sabtu, iyu berarti aku harus menyiapkan surat pengunduran diri juga, karena mas Aji bilang besok pagi atau nanti malam mau jemput.
Aku bingung sekali, aku terus mencoba menghubungi mas Aji tapi belum ada balasan. Aku pun membulatkan tekad. Bahwa tugas siftq nanti malam adalah siftku yang terakhir. Aku pun mengetik surat pengunduran diri dan semua tugas aku bereskan siang itu juga. Sampai kira- kira pukul 1.56 menit saat aku sudah sampai di depan pintu rumah sakit untuk sift sore, ponselku bergetar. Aku deg- degan sekali saat membukanya. Lalu kubaca sebaris kalimat dari mas Aji, “ mas, nggak marah dhedehek sayang, mas nggak bisa marah sama adek. mas maafkan dhedhe, mas ijinkan dhedhe tetep kerja 1 bulan lagi. Nikmati masa gadis dhedhe seindah yang dhedhe mau, tapi besok kalo jadi ibu harus nurut. Tapi dhedhe pulang ya, mas kangen. Mas sayang dhedhe, love you….”.
Aku bener- bener lega sekali rasanya. Sore itupun aku bekerja dengan semangat surat pengunduran diri pun langsung aku sobek. Hatiku penuh dengan mas Aji, dia adalah calon suamiku, suamiku tercinta, orang yang begitu pengertian, ya dia sangat mengerti aku.
Image1161.jpg
Saat aku melewati loby rumah sakit, aku berpapasan dengan orang malam itu! ya orang yang selalu menatapku di bar. Dan dia masih menatapku dengan tatapan yang sama. Ah mungkin dia sedang menunggui istrinya di rumah sakit ini, dan dia punya masalah makanya dia menatap seperti itu, aku pun berlalu.
“ suster “ lelaki baya itu memanggilku. Aku pun berhanti karena saat itu yang berpakaian putih- putih di ruangan itu hanya aku.
“ iya bapak, ada yang bisa saya bantu?” jawabku sopan.
“ boleh kenalan suster cantik” jawab lelaki itu menatap leherku. Aku benar- benar kaget dan terhenyak sesak sekali di dada rasanya aku membalas sapaan pria ini. Aku pun cepat – cepat pergi.
“ heyy…. Suster berambut panjang, kamu mau kemana? Tubuhmu seksi sekali “. Teriak orang itu. Aku benar- benar tidak menyangka akan bertemu orang seperti dia, benar- benar gila. Stress.
Hah. Akhirnya sampai juga aku di ruang kerjaku. Akupun melaksanakan tugasku dengan baik, dan aku tekatkan untuk ijin. Ya. Aku harus ijin pulang. Sebelum mas Aji benar- benar marah sama aku, aku harus pulang. Tapi bagaimana aku harus ijin, rasanya malas sekali bertemu dengan dokter Dion, dia tidak kalah centil, sepertinya dia juga suka sama aku, dia sering menawariku pulang bareng, makan juga, meski selalu aku tolak. Tapi demi mas Aji akan aku temui dokter Dion.
“ thok …thok….” Aku ketuk pintu dokter Dion.
“ masuk “
“ malam dok, “ sapa ku
“ Eh, bidan Kiki, mari masuk, ayoh sini duduk dulu, belum mau pulang kan? Saya juga baru mau siap- siap pulang.”
“ hemmmm” jawabku tersenyum.
“ duduk2 dulu sinih. Mau pulang bareng? Saya antar. “
“ he… makasih dok, saya, mau ijin dok, “
“ hah? Ijin? Ijin apa?”
“ besok saya tidak bisa mengasisteni dokter, saya mau pulang ke Jogja. “
“ nggak bisa semudah itu”.
“ ibu saya sakit, saya mohon, sekali ini saja, nanti saya tukeran sama Diska”.
“hmmmmm…..”
“ dok, please dok, tolong.” aku memohon pada dokter Dion, tapi dia justru menatapku seprti itu, menjengkelkan sekali. Mentang – mentang aku baru lulus apa? Belum tau dia kalau tunanganku juga dokter kandungan, lebih tampan dan sopan. Pikirku saat itu.
“ ok. Jangan lama-lama ya” jawab dokter Dion. Hah aku, benar- benar lega sekali.
“ terima kasih dok ,saya ijin sampai senin”
“ udah mau pulang? “ tanya dokter Dion, aku mengangguk, “ sama siapa?”
“ sendiri dok!”
“ saya Antar ya”
“ he, makasih dok, dekat ini, saya pamitan. , terimakasih selamat malam. “
Hah males banget pulang sama dokter Dion pikirku malam itu, lebih baik, aku sendiri jalan kaki, hummm aku akan selalu menjaga cintaku untuk mas Aji. Sudah terbayang di benakku malam itu, raut mas Aji, suami yang begitu sayang terhadapku. Dia begitu pengertian terhadapku, dia masih menigijinkan aku dan memberi aku kesempatan bebas merasakan kerja. Saat itu aku merasa kehidupanku sangat indah, indah sekali.
Dan yang tak pernah layak untuk aku tuliskan, sebuah kisah yang tak akan pernah pantas dirasakan oleh siapapun, saat aku sampai di halaman rumah sakit, hujan turun dengan derasnya. Aku menolak untuk diantar dokter Dion, aku pun berteduh di warung makan yang kebetulan sudah tutup di dekat pintu belakang rumah sakit, karena hujan deras malam itu pun sepi, dan malam itu sudah pukul 9 lebih, saat aku hendak bangkit, Tangan2 iblis itu pun meraih tanganku, dan membiusku.
Menit- menit berikutnya adalah menit kutukan untukku. Dan selanjutnya sampai detik ini, menit- menitku dipenuhi dengan duri- duri yang selalu menyayatku, semua yang aku miliki terampas dalam satu malam. Aku babak belur, semua yang aku punya pergi. Hanya dengan kasih Tuhan yang masih enggan meninggalkan nyawa di badanku yang tak layak ini, untuk tetap bernafas dan hidup sampai sekarang.
Hingga aku mempunyai seorang anak. Seorang anak yang tak pernah aku kenal siapa ayahnya. Seorang anak yang tak pernah aku harapkan untuk selamanya. Seorang anak yang telah melenyapkan segalanya yang aku punya. Seorang anak yang selalu menghadirkan kebencian saat aku menatapnya. Tapi dia tidak berdosa.
Dan sampai sekarang aku tidak pernah tau siapa ayah dari anakku, dan aku tidak akan pernah ingin tahu. Aku sangat benci. Aku diperkosa oleh 5 orang, yang semuanya aku tidak tau, semua hanya samar, seperti pria stress malam itu, tapi samar juga ada yang menyebut nama Angga, orang itu puas karena dendamnya terhadap Angga terlaksana. Aku sungguh tidak tahu itu mimpi atau nyata. Aku tidak tahu. Aku bangun aku sadar. Aku terbaring di rumah sakit. Dengan berbagai alat bantu di tubuhku.
Pertama aku melihat air mata ibuku menetes di tanganku. Ibuku duduk di sampingku, dengan cucuran air matanya,
Aku juga tidak mengerti kenapa ibu sampai di Jakarta, seorang Anti teman SMAq yang kuliah di UI menungguku di luar mengintip lewat jendela. Setelahaku sadar kata ibu, Antilah yang menemukan aku di selokan dekat rumah sakit, karena hendak berkunjung. Tubuhku terbukur tak berdaya penuh luka, seragam putih- putihku berlumuran darah. Aku pingsan hingga 3 hari ini aku baru sadar. Katanya dari hasil otopsi iblis- iblis itu telah menusukan pisau ditubuhku tapi untungnya aku masih hidup.
Dan mas Aji, aku hanya bisa memohon maaf. Dia yang begitu berharga untukku, saat dia tau keadaanku dia langsung ke sini, tapi naas menjemputnya ,mas Aji kecelakaan. Ayahku juga meninggal.
Image1168.jpg

Tidak ada komentar:

Posting Komentar